You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Desa Kuanyar
Desa Kuanyar

Kec. Mayong, Kab. Jepara, Provinsi Jawa Tengah

Ini contoh teks berjalan. Isi dengan tulisan yang menampilkan suatu ciri atau kegiatan penting di desa anda.

Sejarah Desa

Administrator 26 Agustus 2016 Dibaca 132 Kali
Sejarah Desa

    Dalam legenda yang disampaikan oleh para leluhur, terdapat cerita mengenai orang yang pertama kali memberikan nama Desa Kuanyar, yaitu Mbah Kresek. Pada awalnya, desa ini diberi nama Bumiku Anyar, namun kemudian diubah menjadi Kuanyar. Mbah Kresek adalah salah satu tokoh yang meneruskan peran setelah Mbok Emban dan Mbah Wali. Diceritakan bahwa Mbok Emban, atau yang sebenarnya bernama Nyai Safah, dan suaminya, Mbah Wali (nama aslinya tidak diketahui), adalah orang pertama yang menetap di Desa Kuanyar. Sebelumnya, Nyai Safah merupakan pengikut setia Ratu Kalinyamat (Raden Ayu Retno Kencono) dari Kerajaan Kalinyamatan. Ia bekerja sebagai dayang di istana Kalinyamatan, bertugas merawat Ratu Kalinyamat sejak kecil hingga dewasa. Karena tugas tersebut, Nyai Safah lebih dikenal dengan nama Mbok Emban. Kata "Emban" dalam kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memiliki arti "inang," "pengasuh," atau "emban," yang merujuk pada peran Nyai Safah sebagai pengasuh Ratu Kalinyamat.

    Setelah Sultan Hadirin, suami Ratu Kalinyamat, meninggal dunia, Ratu memberikan penghargaan kepada Nyai Safah berupa tanah atau wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Kuanyar. Konon, setelah Ratu Kalinyamat mengalami masa berduka atas kepergian suaminya, Mbok Emban dan Mbah Wali mulai membangun tempat tinggal di Desa Kuanyar. Mereka mendirikan pesanggrahan dan rumah untuk mereka tinggali. Wilayah tempat tinggal mereka kemudian diberi nama Sentono atau Astana Raja, sebagai bentuk penghormatan dan peringatan terhadap jasa Ratu Kalinyamat sebagai pemberi tanah. Pada masa lampau, pesanggrahan Mbok Emban terletak di tepi sungai dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Namun, sungai yang berada di sebelah barat pesanggrahan tersebut kini sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1996, sebelum adanya bangunan di sekitarnya, masih terlihat bekas sungai yang panjang serta dua pohon besar.

    Pesanggrahan milik Mbok Emban sering dijadikan tempat singgah bagi para musafir. Salah satu tokoh yang pernah singgah di pesanggrahan tersebut adalah Datuk Ida Gurnandi, seorang dai yang berasal dari Singaraja, Bali, dan berdakwah di wilayah Jepara. Sebelumnya, ia menetap di sebuah daerah yang sekarang dikenal sebagai Desa Singorojo. Di kalangan warga sekitar, ia lebih dikenal dengan sebutan Mbah Datuk. Banyak pohon aren ditemukan di sekitar pesanggrahan tersebut, yang diketahui ditanam oleh Mbah Datuk saat singgah di sana. Namun, saat ini pohon-pohon tersebut sudah tidak ada, dan pohon aren terakhir terlihat pada tahun 1980-an.

    Di wilayah Sentono, tempat tinggal Mbok Emban, terdapat cerita menarik mengenai adanya sebuah masjid. Masyarakat sekitar Sentono tidak menggunakan masjid tersebut untuk melakukan salat berjamaah, sehingga masjid tersebut menjadi sepi. Mbah Wali, yang mengetahui hal ini, merasa geram dan menendang bedug yang ada di masjid. Karena kekuatannya, bedug tersebut terlempar hingga jarak 300 meter ke arah tenggara. Tindakan tersebut dilakukan oleh Mbah Wali sebagai peringatan kepada warga Sentono yang tidak pernah berjamaah di masjid. Bedug, sebagai alat untuk memanggil salat sebelum azan berkumandang, hanya menjadi hiasan karena masyarakat tidak termotivasi untuk datang ke masjid. Bahkan, ada yang mengisahkan bahwa masjid tersebut terbakar setelah bedug tersebut ditendang. Menurut KH Hasan Janamin, seorang Ulama Sufi yang tinggal di Kauman, pada tahun 1880, di tempat jatuhnya bedug tersebut dibangun masjid yang sekarang dikenal sebagai Masjid Baitul Mujtahidin.

    Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal pada abad ke-17 dan dimakamkan di pesanggrahan tempat tinggal mereka. Makam tersebut kemudian direnovasi pada masa kepemimpinan petinggi Abdu. Setelah masa Mbok Emban berakhir, muncul tokoh-tokoh lain yang tinggal di sekitar Sentono, seperti Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi, dan Mbok Dodol. Wilayah tempat tinggal mereka berkembang menjadi dukuh-dukuh di Desa Kuanyar, seperti Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek, sebagai tokoh pertama yang memberikan nama Kuanyar, kemudian dijuluki sebagai Mbah Lurah. Sedangkan Sentono sendiri kemudian menjadi bagian dari Dukuh Kauman karena daerah tersebut menjadi pusat penyebaran agama Islam di Desa Kuanyar.

Setelah masa Mbah Lurah, administrasi Desa Kuanyar dijalankan oleh petinggi. Dimulai dengan Banis pada tahun 1837-1840, dilanjutkan oleh Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat Hadiwijaya (1945-1975), Abu Cholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), Abdu Harisman (2013-2019), dan saat ini petinggi yang menjabat adalah Khomsatun dengan masa jabatan dari 2019 hingga 2025. Warga Kuanyar dihimbau untuk menghargai dan menghormati jasa Mbok Nyai Emban serta keluarganya sebagai tokoh-tokoh pelopor yang membangun Desa Kuanyar dan menjadi pionir dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image